Senin, 08 November 2010

Cadangan Nyawa Arafat


Madiha Arafat sangat gundah dan shock begitu membaca berita yang dilansir sebuah mingguan Jerman, Focus, bahwa abangnya, Yasser Arafat, mengancam akan bunuh diri di depan tentara Israel yang mengepung markasnya di Ramallah. Mengutip pengakuan tentara Israel, Focus menggambarkan, Arafat berteriak akan menarik pelatuk pistolnya di kepala, jika tentara-tentara Israel itu melangkah lebih dekat lagi dengannya. "Tak mungkin!," bantah Madiha, adik perempuan Yasser Arafat.

Madiha sangat paham, abangnya adalah seorang pejuang yang pantang menyerah menghadapi tekanan dan ancaman seberat apapun. Kalaupun mesin perang Perdana Menteri Israel Ariel Sharon membongkar paksa pintu kamar kerja Arafat, tentu abangnya akan melawan dengan segenggam revolver yang selalu menggamit pinggangnya, meskipun kemudian harus mati diberondong senjata berat tentara Israel.

Arafat pun berkali-kali menegaskan lewat telepon seluler yang disiarkan stasiun TV Al-Jazeerah, bahwa dirinya enggan menerima tawaran sepihak Ariel Sharon, yakni "perjalanan satu arah" meninggalkan wilayah Palestina. "Saya hanya akan meninggalkan Palestina sebagai syahid, seperti yang dialami Abu Iyad, Abu Jihad, dan Abu Ali Mustafa," kata Arafat. "Ia sangat percaya takdir, jadi tak mungkin ia bunuh diri," bantah Madiha lagi.
Dan benar, Tuhan masih menghendaki Yasser Arafat mendampingi perjuangan rakyat Palestina melawan kekejian agresi militer Israel, meskipun entah sampai kapan. Kamis (2/5) lalu, ia kembali menghirup "kebebasan", setelah lebih sebulan dikurung dalam ancaman tank-tank Merkava yang saban waktu bisa memuntahkan mortir jahatnya.

Namun bukan Arafat jika baru saja "bebas", tak segera melancarkan kutukan pedas, khususnya terhadap kekejaman Israel di Gereja Kelahiran Yesus dan kamp pengungsi Jenin. Menurutnya, kebebasan yang dirasakannya sama sekali tak berharga, dibanding nyawa ratusan warga Palestina yang melayang selama agresi terakhir tentara Sharon.
Ini bukan pertama kali Arafat lolos dari ancaman maut. Sepanjang karir politiknya, ia telah mengalami cobaan yang lebih berat, dan berhasil survive. Di samping urusan takdir, Madiha meyakini abangnya punya indera keenam dan firasat yang selalu mendampingi aksi perjuangannya, termasuk saat ia benar-benar berada dalam ancaman kematian.

Sebutlah peristiwa 20 tahun lalu, ketika Ariel Sharon - Menteri Pertahanan Israel saat itu, melancarkan serangan besar-besaran ke markas politik dan militer Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) di Lebanon. Arafat dan pasukannya berhasil lolos. Juga dalam peristiwa peledakan markas PLO di Tunis, Arafat tak kurang suatu apa. Mungkinkah Arafat punya cadangan nyawa?

Andai Sharon membunuhnya

Kalau pun kini ada yang paling menyesalkan lolosnya Arafat dari maut, tentu Sharon lah orangnya. Beberapa bulan terakhir, tokoh yang paling bertanggungjawab atas kekejaman tragedi Sabra dan Shatila yang menewaskan ribuan pengungsi Palestina ini berkali-kali berujar, "saya menyesal tak menghabisi Arafat pada tahun 1982 di Lebanon."

Namun sikap Sharon banyak menuai kritik, termasuk dari warga Israel sendiri. Ketua Kelompok Perdamaian Israel Gush Shalom, Uri Avnery misalnya, menganggap penyesalan Sharon itu tidak taktis, dan hanya mencerminkan ketololan seorang mesin pembunuh. Menurut Uri, jika Sharon berhasil menghabisi Arafat, maka Arafat akan menjadi collective memory seluruh warga Palestina dan dunia Arab, sebagaimana ketokohan Nabi Musa di benak umat Yahudi. Kita tahu, Musa menyelamatkan umat Yahudi dari kejaran Fir’aun, dan membawa mereka ke "tanah yang dijanjikan".

Menurut Uri, kematian Arafat lebih gawat ketimbang hidupnya. Jika Arafat hidup akan tercipta perdamaian, namun jika dihabisi hanya akan mengabadikan konflik. Dendam dan perlawanan akan tumbuh bukan hanya di Palestina, tapi di berbagai pelosok bumi. "Kehidupan setiap warga Israel akan menjadi neraka, di mana pun berada. Tak ada kedutaan Israel, penerbangan atau wisatawan yang selamat," tulis Uri dalam mingguan Al-Ahram.

Bagi Arafat sendiri, maut tentu bukan persoalan. Namun kepungan Israel sangat menyiksanya, lantaran dirinya tak bisa menyambangi warga Palestina yang sangat dicinta, atau mengunjungi para pemimpin pemerintahan yang mendukung perjuangannya. Seperti digambarkan T. Taufiqulhadi yang pernah belajar di Hebrew University, Yerussalem, di antara seluruh pemimpin negara, Arafat lah pemegang rekor untuk perjalanan keliling dunia. Bahkan seseorang yang profesinya menuntutnya untuk keliling dunia, belum mampu menandingi jarak tempuh perjalanan Arafat.

Masa-masa awal bekerja di Kwait tahun 1957, Arafat sudah melancong ke Yordania, Suriah, Lebanon dan Mesir. Ia kerap menyetir sendiri mobilnya, dengan kecepatan tinggi. Setidaknya sekali ia secara ajaib lolos dari maut, akibat kecelakaan paling serius di jalan padang pasir antara Baghdad dan Amman.

Setelah terpilih sebagai Ketua PLO pada 1969, selama berbulan-bulan ia terbang mengunjungi sejumlah negara, dan hanya sedikit hidupnya di darat. Pernah, pada 1988, dalam sebulan ia mengunjungi 45 negara, atau 1,5 negara dalam sehari. Di kawasan Timur Tengah ia dijuluki "Baduwi modern". Dan seperti kebiasaan orang Baduwi berpindah-pindah, Arafat menggotong semua perangkat yang dibutuhkan - telepon, komputer, modem dan mesin fax.

Arafat mengakui, pertemuan personalnya dengan para pemimpin negara, atau tokoh politik dan pengusaha yang mendukung perjuangan Palestina, akan lebih mengena ketimbang kontak jarak jauh. Namun di balik alasan itu, perjalanannya tanpa henti itu adalah bagian dari perjuangan warga Palestina yang berdiaspora. Seperti jutaan warga Palestina lain, sepanjang hidup Arafat diringi kisah penderitaan manusia yang terusir dari negerinya oleh kekejaman Israel. Perjalanannya yang tanpa henti itu sangat diperlukan, untuk bertemu rakyat Palestina yang menyebar di seluruh pelosok bumi, khususnya kawasan Timur Tengah.

Lebih Berharga Ketimbang Suha

Arafat hampir tak memiliki barang pribadi. Sedangkan rumah dan kantor baginya sama saja. Asalkan ada telepon, fax, radio dan televisi, cukuplah untuk menemani hidupnya 24 jam. Ia pun tak pernah mengunjungi tempat hiburan. Dan wanita? Mungkin bisa dibilang sangat acuh, karena perjuangan Palestina baginya sangat jauh dan jauh lebih berharga. Suatu hari Arafat berujar tidak akan kawin, karena sudah kawin. Dengan siapa? "Dengan seorang wanita bernama Palestina," jawabnya.

Memang Arafat pernah diisukan memiliki hubungan dengan beberapa wanita. Misalnya Najla Yassin, wanita kelahiran Suriah mantan sekretaris pribadi Arafat. Atau Nada Yashruti, janda Khaled Yashruti, tokoh Al-Fatah yang cukup disegani. Atau Dr. Rashida Mahran, pengarang cantik Mesir dan dosen sastra Arab. Namun semua itu tetaplah misteri, hingga perkawinannya dengan Suha Tawil tahun 1990 di Tunis.

Wanita berambut pirang kelahiran 1963 ini berasal dari keluarga Kristen, namun seperti dituturkannya kepada Arab News, telah masuk Islam 10 tahun lalu. Suha mahir berbahasa Inggris dan Prancis, karena pernah mendalami ilmu politik, bahasa dan hukum di Paris. Ayahnya, Daud Tawil, seorang bankir kaya di Yordania. Ibunya, Raymonda, adalah mantan aktivis PLO yang berjuang lama bersama Arafat.

Tak banyak kisah di balik lebih 10 tahun perkawinannya dengan Suha. Boleh jadi karena kesibukan pribadi Arafat, atau karena "keacuhannya" terhadap wanita. Seorang karib Arafat pernah bilang, Suha kawin dengan Arafat, tapi Arafat tidak mengawininya. Dalam sebuah wawancara bersama, Arafat menjelaskan alasan perkawinannya, "itulah nasib." Tapi Suha segera meralatnya, "bukan nasib, tapi cinta."

Memang tak banyak yang berubah dari sosok Arafat selama perjuangannya memerdekakan rakyat Palestina dari pendudukan Israel. Ia tetap pribadi yang teguh dan pantang menyerah, bahkan terhadap ancaman maut dan senjata, apalagi kerlingan wanita.*****


Tidak ada komentar:

Posting Komentar